Selamat berkunjung di blog ini, jangan lupa tinggalkan komentar anda, terima kasih....

Senin, 17 September 2018

Al Muhasibi




KH.LUKMAN HAKIM
SESUNGGUHNYA kesedihanku —tatkala aku renungkan— sangatlah besar, selubungku amatlah tebal, dan kemurungan menguasaiku. Selama ini aku menjalani kehidupan dengan permohonan, sedangkan kelapangan bagiku jauh untuk disegerakan.

Aku telah mendengar dan melihat, aku telah yakin dan mengerti siapa yang telah Engkau beri pujian dan pertolongan, serta siapa yang telah Engkau segerakan jalan keluar baginya. Lalu, Engkau membersihkan mereka dari segala noda, Engkau pastikan kepadanya belas kasih dan rasa sayang-Mu, serta kerinduan mereka kepada-Mu.
Jika saja kalbuku menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam sesungguhnya aku menjadi seperti itu, karena aku memang begitu terjepit dan keletihan. Aku meminta sesuatu tetapi tidak diberi, sedang aku melihat berbagai macam dan Karya-karya-Mu yang menunjukkan melimpahnya tangan-tangan rahmat-Mu, dan langgengnya kebaikan-Mu yang tak pernah lekang, dan Engkau tidak membuat jiwaku patuh dengan suka rela begabung bersama maqam-maqam yang telah mereka capai.
Aku hanya meminta-Mu —dengan apa yang telah Engkau karuniakan kepada mereka— agar Engkau memasukkan aku bersama-sama mereka dalam petunjuk yang lurus (taufiq) yang sama. Betapa beruntungnya hamba yang Engkau beri pertolongan, segera Engkau sucikan dia dari semua kekotoran dosa di dalam kalbunya. Engkau memastikan bagi hamba itu untuk memiliki penghargaan yang agung dan pemihakan yang tulus (husnaddi’ayah) terhadap-Mu. Juga Engkau karuniai di dalam kalbunya kecintaannya yang murni (shidq al-mahabbah); kerinduan mendalam kepada-Mu dan pertemuan (liqa’) dengan-Mu; berikut rasa takut (khauf) dan kegelisahan yang panjang, penyesalan dan kepekaan kalbunya atas pengabaian dan dosa-dosa yang dia lakukan di masa lalu. Kalbunya begitu tersentuh dan merasakan keintiman berada di dekat-Mu, sehingga memperoleh ektase mitis dengan bermunajat kepada-Mu, dia merasa khawatir jika ada penghalang antara dia dan Engkau.
Maka, sungguh indah kehidupan yang dia jalani pada sisa hidupnya, kecemasan dan perasaannya yang meluap-luap (rughbah) menguasainya, kecintaan dan kerinduannya, — kedua-duanya semakin meningkat, meninggi bersama-sama dengan persepsinya dan terlihat pada dirinya.
Aku telah mencurahkan segala upaya untuk taqarrub kepada-Mu. Di sisi lain seorang hamba telah Engkau beri pertolongan tanpa kekurangan memasuki Kerajaan-Mu atas izinMu. Sementara Engkau tinggalkan aku dalam keadaan fakir yang mengiba, namun pertolongan-Mu kepadaku tidak mengurangi kesempurnaan-Mu. Maka, segerakanlah kebahagiaan bagiku karena penangguhan terkabulnya perminraanku (ijabati) membuatku merasa sedih, dan aku tidak tahu kapan kelapangan bagiku akan tiba?!
Aku merasa gelisah atas pembangkangan yang telah aku lakukan (i’radhi) di masa yang lalu; dan yang menyentuh nuraniku serta mendorong kalbuku luluh adalah pengamatanku (nazhri) akan “Para Pekerja-Mu” yang silih berganti dengan sungguh- sungguh mencari karamah-Mu, mengusung harapan yang tinggi dalam pencapaian Mawahib [karunia yang didapatkan langsung dan-Mu, pent.], dan merasakan nikmat kerinduan yang besar terhadap Diri-Mu. Mereka berpaling dan kehidupan dunia, lebih memilih mencari kedudukan yang tinggi (ma’ali) berada dekat dengan-Mu dengan penuh kesungguhan, tidak ada lagi ketergantungan dalam jiwa-jiwa mereka kepada yang selain dari-Mu. Mereka menjadi mulia bersama-Mu di antara hamba-hamba (‘abid) yang taat.
Maka, aku ini hamba-Mu juga, sebagaimana mereka juga adalah hamba-hamba-Mu yang lebih berbakti. Aku adalah seorang yang fakir dalam kesempitan, sebagaimana mereka yang pernah mengalami saat-saat keterpurukan (su’ul hat). Lalu Engkau menyambut doa mereka dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, kemudian Engkau menyelamatkan mereka dari moral-moral yang rendah dan amal-amal yang buruk.
Maka, sertakanlah hamba-Mu yang fakir yang penuh harap ini bersama-sama “Para Pekerja-Mu” yang kuat-kuat itu dan orang-orang yang bertobat (al-munibin) yang kembali kepada-Mu, semoga Engkau tidak menunda pemberian nikmat itu walau sekejap mata. Karena, perintah-Mu jika menghendaki sesuatu hanya dengan berfirman: “Kun,” (Jadilah!). Maka, terjadilah ia.
Maka perintahkanlah kepada rasa takut, getir, gentar dan gusar agar selalu berada dalam kalbuku. Perintahkan kepada cinta (hubb) agar mengalahkan semua kegundahan-kegundahanku, dan kepada anggota jasmaniku, agar terbiasa bergerak dengan cepat, kepada hawa nafsuku agar padam dan tertunduk, sampai Engkau membuatku merasakan kebahagiaan dengan nikmatnya ketaatan, kembali ke fitri dengan nikmat abadi di sisi-Mu, dan penglihatan akan Keindahan-Mu.

Selasa, 27 Februari 2018

Peran dan Sejarah Dakwah Kaum Habib Nusantara

Sufinews.com
DALAM sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai
digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme. 
Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme. 
Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Salah seorang Habaib lainnya adalah Syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya Syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.

Senin, 12 Desember 2016

Dimas Kanjeng Dan Sunyinya Akal Sehat


Oleh: DR  KHM Lukman Hakim

Kasus Dimas  Kanjeng Taat Pribadi Probolinggo dan AA Gatot Brajamusti, bagi manusia Indonesia bukan hal yang luar biasa. Karena atmosfir magic telah berkembang menjadi industri budaya yang dinikmati oleh semua kalangan. Apalagi  ketika industri spiritual semu (pseduo spiritual)
didukung oleh manajemen modern,  dan sejumlah aktivitas hipnotis, keparanormalan, dan motivasi psikhologis serba instan dengan tema-tema agama, dengan  janji sukses material. Hal yang tak kalah pahitnya dalam industri ini seperti power sedekah, power ikhlas,  keajaiban doa, istighosah politis,  marak tanpa kontrol, untuk dijadikan legitimasi gerakan industri spiritual yang palsu, yang setara dengan narkoba untuk kepentingan spiritual.
Sukses besar, dan sejumlah harapan masa depan, ancaman,  ketakutan,  issue dan instanisme, adalah tema  yang paling laris untuk dijual, dan pembelinya  kalangan  professional, terpelajar maupun awam.  Booming batu akik beberapa waktu silam misalnya,  menjadi indikator keterpurukan psikologis masyarakat ketika hendak melawan perubahan yang tidak pasti, dan masyarakat menikmatinya, sebagai eskapisme ketidakpastian ekonomi, politik dan ketidak percayaan atas spiritualitas dan realitas yang diyakini selama ini.  
Inilah bagian dari mitos-mitos yang dipaksakan jadi fakta, agar diyakini sebagai harapan perubahan nasib, tanpa kerja keras yang sesungguhnya dan pengetahuan keagamaan yang benar. Kelak ketika tidak terbukti, mereka hanya beralibi pada katarsis, “Memang belum takdirNya.” Sebuah wacana yang menzalimi diri sendiri, demi kepentingan instanisme yang gagal.
Paradok-paradok sosial ini akan terus berlangsung selama pendidikan dan dakwah keagamaan kita  tidak membangun landasan filosufi yang jelas, dalam hubungan  strategis  kebudayaan nusantara ini. Konflik agama dengan kekayaan kultur lokal, pernah diselesaikan oleh para Walisongo, namun akurasi informasi dan tafsiran budayanya menjadi simpang siur hingga saat ini. Yang muncul selalu wilayah abu-abu dengan kerancuan spiritual atas nama agama dan kearifan lokal.
Dalam fakta sosiologis, pandangan hidup antara wilayah spiritual dan material, antara rasionalisme dan religi,  bahkan Peran Tuhan dan kemanusiaan,  seringkali rancu dalam konflik horisontal yang hingga saat ini tidak diselesaikan tuntas oleh para pendidik dan Ulama,  kecuali sekadar menyerah pada tradisi Jabaretisme (serba takdir Allah swt) , walaupun Ulama NU dan Cendekiawan Muhammadiyah telah menggelorakan Islam Moderat (tawassuth dan tawazun) , pada kenyataannya Jabaretisma moderat sangat dominan dalam kultur nusantara kita. 
PERLAWANAN AKAL SEHAT
Dalam situasi demikian, gerakan ala Dimas Kanjeng akan  selalu muncul sebagai perlawanan budaya akal sehat, untuk sekadar  tampil lebih suprematif dalam kehidupan sosial, bukan lagi soal kelaparan atau kemiskinan, tetapi status baru yang kemudian menjadi antiklimaks atas dakwah keagamaan yang menjanjikan harapan instan, baik secara politik maupun ekonomi.  Akal sehat  (bashirah) akan menjadi ruang sunyi yang tersingkir begitu saja,  karena mitos telah berubah jadi dogma.
Apakah ini bentuk kegagalan tafsir agama atas budaya lokal yang dipelihara? Atau karena ketakberdayaan menghadapi situasi struktural  yang tidak memihak nasib rakyat di bawah? Atau ini bentuk oposisi kultural atas kemapanan yang tidak mampu merubah nasib mereka? Lalu apa bedanya dengan munculnya ISIS dan para teroris, yang juga gagal dalam menafsirkan teks agama? Atau bangsa kita telah lama sakit, lalu menikmati romantisme penyimpangan dan kejahatannya sebagai khazanah yang dibanggakan?
Untuk menjawabnya butuh kejujuran intelektual  yang cerdas, karena di satu sisi kita menghadapi  mitos “jahiliyah kultural” dan di sisi lain akal sehat modernitas yang diunggulkan di dunia pendidikan masih merujuk pada  sekularisme masyarakat modern yang nestapa.  Akal sehat yang yang tercerahkan sesungguhnya, pasti melahirkan pencerahan atas semua tafsir keagamaan dan kebudayaan, sekaligus mereposisi peran masing-masing dalam bangunan organisme karakter psikologis. Tanpa reposisi peran agama, peran budaya, peran kreativitas manusia dan alam, bangsa kita akan terus menerus di awang-awang, lalu peradaban  membusuk di tong sejarah. Inilah yang membangkitkan gerakan-gerakan alternatif spiritual semu yang sangat memuakkan itu.
Komunitas-komunitas instanisme  adalah pasien-pasien rumah sakit jiwa bangsa ini, sebagai model kegilaan spiritual, yang jauh dari citra kemanusiaan dan  ajaran agama yang diperankan oleh para pejuang dan pewaris para Nabi. Pada akhirnya pasti menuntut hadirnya para dokter spiritual, dan pengobat moral , yang mampu memberi terapi psikhologis pesakitan-pesakitan itu.  Trilogi manajemen dakwah Islam yang  melandaskan cara pandang Jalan Tuhan yang penuh hikmah, dan nasehat yang bajik serta argumentasi yang lebih logis, di negeri ini tidak pernah terukur oleh indikator yang jelas. Sehingga gerakan-gerakan dakwah selalu muncul seperti industri spiritual, muncul bak jamur dengan produknya   seperti supermarket yang bisa dinikmati siapa saja melalui media massa oleh siapa saja.
Semua berujung pada hal yang ekstrim:  Segalanya bermerek agama dan Tuhan, -- termasuk kasus terakhir dengan Narkoba bermerek  Aktifitas Spiritual -- atau sebaliknya rasionalisme liberal yang genit dan eksotis, dengan upaya-upaya rasionalisasi dogma agama, demi janji masa depan. Sedangkan Islam Moderat yang mayoritas di negeri ini juga belum terekonstruksi dalam praktek kemodernan, namun masih  nyaman dengan  tradisi intelektual masa lampau, tanpa rekonstruksi (tajdid) yang  mampu memberi harapan dan keyakinan masyarakat modern, kecuali sekadar  argument eskapisme klasik atas pentingnya kearifan lokal, kenusantaraan dan keindonesiaan.  
NU dan Muhammadiyah  berada di garis depan Islam Moderat, tetapi masih harus membuktikan akurasi epistemologis dalam pandangan teologisnya, untuk didaratkan ke bumi nusantara yang modern. Kaum Nahdhiyyin yang mayoritas di bawah misalnya lebih banyak menjadi korban kepalsuan spiritual ala Dimas Kanjeng dan sejenisnya,  karena tradisi taklidnya  yang secara sosiologis sangat paternalistik termasuk dalam merespon harapan-harapan palsu yang berbau mitologis.  Sementara kalangan Muhammadiyah juga baru membangun arsitek kultural modern ala rumah kaca, cantik dan terpelajar, namun tidak kokoh bagi huniaan jutaan ummat, juga menjadi korban spiritualisme perkotaan yang mencoba merasionalkan agama untuk kepentingan material.
Spiritualitas keagamaan  semacam apa yang bisa mencerahkan bangsa ini? Atau rasionalitas dengan paradigma seperti apa yang bisa mencerdaskan generasi negeri ini? Tanpa kita tuntaskan dua hal tersebut, bangsa ini akan terus terkaget-kaget dalam atmosfir kelatahan spiritual yang sangat tolol, ketika menghadapi perubahan-perubahan sosial yang cepat. Tak habis-habisnya kita disuguhi tontonan teater yang mengulang tema sejarah kegalauan sosial yang sudah membusuk.
Kita memiliki agenda-agenda besar yang terus dituntut oleh sejarah, kembali kita harus duduk bersama seperti para bapak bangsa kita, saat merumuskan konstitusi kita, merumuskan kembali pandangan spirit kebudayaan, keagamaan dan kebangsaan,  yang bisa dipertanggungjawabkan di depan sejarah dan di depan Allah swt. Namun, sekarang para tokoh lebih sibuk dengan urusan kelompok dan institusi masing-masing, tanpa kesadaran spiritual yang mencerahkan mereka sendiri, kelak akan bernasib sama sebagai bangkai sejarah,  karena matahati mereka terus menerus terpejam dalam kabut hawa nafsunya.